mercredi 28 septembre 2011

Kontemplasi Santri, Wacana Arti "Sungguh"[1]



Perjalanan interaksi dengan lingkungan terus berlanjut dan saya merasakannya dengan begitu indah walaupun aral rintangan siap menghalangi kapan-pun dan dimana-pun seseorang berada. Perjalanan waktu terasa berjalan dengan begitu cepat, seakan segalanya hilang dan punah begitu saja ditelan masa tanpa bekas yang bisa dirasa membuatku berpikir dan terus berpikir dalam menyikapi makna arti hidup ini dan bagaimana berinteraksi dengan lingkungan sekitar menjadi lebih harmonis, romantis serta bisa dijadikan pedoman hidup dalam menghadapi badai kehidupan ini demi kelangsungan hidup dan kebahagiaan yang telah didambakan dunia dan akhirat.
            Benar apa yang dikatakan oleh Ulama    من جد و جد "barang siapa bersungguh-sungguh pastilah dapat", sebuah pepatah yang bisa diambil hikmahnya dalam merespon kehidupan dan tujuan hidup demi tercapainya segala apa yang diinginkan. Tetapi pada kenyataanya sering kita dapat disana-sini banyak sekali mengetahui pepatah itu tetapi mereka melaluinya begitu saja tanpa adanya kontemplasi dan intisari yang dapat diambil sehingga sia-sia saja segala sesuatu yang mereka lakukan, sebagai contohnya banyaknya orang yang membuang dan tidak menghormati waktu dengan melaksanakan pekerjaan yang tidak perlu, menyi-nyiakan  fungsi diri atau skill dan otak dalam berinteraksi dengan milieu, mencurahkan tenaga dan pikiran demi hal yang remeh dan tidak perlu untuk dilakukan. Semua itu tak lepas dari memahami dan mengerti apa arti hidup serta tujuan hidup itu sendiri.
Ketika di Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas Jombang, salah seorang pengurus senior pernah bertanya kepada orang tua yang pernah mengalami masa penjajahan Belanda, dia berkata, "pak, kenapa kok orang dulu itu sakti-sakti atau kalau berkata sesuatu itu banyak terjadinya?", orang tua itu menjawab, "orang tua dulu itutemen (sungguh) dalam melakukan sesuatu". Cerita ini mengingatkanku akan pentingnya arti sungguh itu dalam melakukan hal yang penting apalagi status saya sebagai mahasiswa al-Azhar Kairo Mesir yang dituntut memahami ilmu agama dan masyarakat tidak akan bertanya apa jurusanku dimesir, mereka hanya bisa berasumsi kalau lulusan Mesir maka ilmu agamanya mumpuni, jadi pertanyaannya apakah kita sudah bisa meraba diri kita masing-masing untuk melakukan sesuatu yang lebih penting dan sangat penting? Atau cuek begitu saja tanpa menghiraukan waktu yang ada dengan tenggelam dan terpengaruh millieu yang sangat berperan dalam kehidupan?. Itulah kehidupan, bagaimana kita sendiri memilah dan memilih mana yang baik, yang lebih baik dan yang terbaik. Sering juga kita cuma bisa mengoreksi kesalahan orang lain padahal kita sendiri masih banyak kekurangan yang perlu dibenahi.
Problematika Mahasiswa Indonesia di Mesir (masisir) yaitu para mahasiswa terpengaruh dengan millieu, semua itu mau tidak mau memberi dampak baik dan buruk bagi mereka. Disini saya dan masisir lainnya dituntut untuk mandiri dan mampu menyikapi diri untuk mengatur segalanya guna mencapai tujuan atau keinginan bersama kelak, mencari wacana dan pengetahuan yang lebih dan bukan sekedar dalam teori saja, melainkan jauh dari itu yaitu aplikasi (manfaat) serta hikmah di balik semua apa yang dipelajari di al-Azhar. Para generasi bangsa terus terlena dengan dunia serta keasyikan yang semu yang bisa berubah menjadi kelabu dan menakutkan layaknya hantu. Sebagai bukti, banyak sekali para pelajar ataupun mahasiswa lebih asik dengan pacaran dan permainan yang tidak ada manfaatnya, mereka lebih mementingkan 'hewan peliharaan' (pacar) dari pada mata kuliah yang harus dipelajari di ruang kelas, buku-buku yang banyak hanya bisa dijadikan dekorasi rumah untuk memperlihatkan banyaknya kitab, padahal belum tentu keilmuannya bisa memadahi dalam menghadapi tantangan zaman yang semakin bobrok ini, tenggelam dalam dunia cyborg dan internet yaitu mencari serta menggunakannya dengan tidak semestinya. Demikan itu potret singkat kehidupan para pelajar dimanapun berada. Kalau begitu dimanakah arti sungguh itu? Apakah yang dilakukan itu dalam artian sungguh? Atau itu benar-benar sungguh hanya dalam perkataan saja tanpa tahu menahu mana yang harus didahulukan?
Perkataan atau teori memang lebih mudah di ucapkan tetapi sulit dalam aplikasi dan pelaksanaan. Tak diduga setelah saya menginjak tahun ke empat ini saya merasa ilmu yang saya dapatkan tidaklah sebanding dengan waktu yang telah saya lewati, otomatis membuat saya harus berpikir dan kontemplasi bagaimana cara merespon kehidupan ini. Mau tidak mau dan saya tidak bisa berbuat apa-apa, semua itu hanya menimbulkan perasaan penyesalan yang mendalam, tetapi jangan begitu dipikirkan penyesalan itu tetapi bagaiman saya bisa merubah semua itu menjadi lebih baik dari yang lalu.
            Disela-sela waktu santaiku yaitu setelah membaca kitab Raudhah al-Thalibin karangan Imam Nawawi, saya keluar dari rumah untuk menghirup udara segar di malam hari setelah shalat isya di musim dingin. Tujuan saya keluar waktu itu adalah mengecek kaset handycam kepada temanku karena handycam saya di pinjamnya sehingga menuntutku untuk menuju kerumah temenku itu. Disana tanpa sengaja saya bertemuan teman lama yang sedang asyik duduk di depan televisi menonton pertandingan bola, tepatnya di rumah organisasi Mahasiswa-i Jawa Timur yang terkenal dengan sebutan GAMA JATIM. Pada pertemuan dengan temanku itu, kami sempat berbincang-bincang seputar manajemen waktu dan peralatan-peralatan yang dimiliki. Di situ terdapat empat orang yaitu saya, Yusuf, Faiz dan Faiq. Dengan santainya Faiq menyetrika baju dan kita bertiga berbincang-bincang mengenai fotografi dan handycam.
Faiz berkata bahwa manajemen, teori dan aplikasi itu perlu. Pertama kali belajar kita membutuhkan teori tetapi ketika teori kita udah matang dan bisa diaplikasikan serta sudah mumpuni dalam aplikasi tersebut maka teori bisa di abaikan. Tetapi dari sekian itu dan banyak orang yang belum memiliki yaitu mental, mental ini berperan untuk membentuk seseorang dalam mengontrol egois dia untuk mencapai sesuatu. Dia mencontohkan orang yang memasak makanan dan menghidangkannya yaitu ketika koki tersebut dihadapkan kepada opini-opini orang yang bermacam-macam seperti gak enak makanannya, sedang, lumayan, dst, maka akan menimbulkan gejala jiwa yang seketika itu harus diterima. Jadi dari gejala jiwa dengan kenyataan yang ada itulah akan mengontrol emosi, egois kita dalam melakukan sesuatu, apakah kita terus cemberut dan putus asa untuk melakukannya lagi? Atau merasa tertantang dan akan terus mencoba untuk menjadi yang terbaik? Kesungguhan disini akan terpatri dan teruji seberapa jauh kita memahami dengan sesuatu yang kita hadapi.
           Banyak sekali orang mempunyai kamera dan handycam, tetapi pemilik tersebut cuma bisa menggunakannnya hanya batas minimal saja seperti mengambil gambar dan mentransfernya ke computer atau cd dan dvd, tanpa menghiraukan bagaimana mempelajari seluk-beluk kamera atau handycam tersebut melalui teori dan aplikasinya sehingga bisa menghasilkan suatu gambar yang lebih bagus. Penjelajahan dengan menggunakan sifat penasaran untuk mengetahuinya yang berujung kepada kesungguhan menjadikan seseorang mampu untuk mengetahui barang-barang yang dimiliki dengan sedetail-detailnya bahkan bisa menghasilkan sumber mata pencaharian. Faiz berkata, " menyewa fotografer aja minimal itu seharga 1.200 dollar". Ini mengindikasikan akan pentingnya skill serta peralatan yang dimiliki dengan mempertimbangkan waktu dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya seperti acara, transportasi, millieu dll. 
Pada konversasi kali ini saya teringat perkataan ayah saya bahwa di dalam hidup itu dibutuhkan D3 yaitu doa, dengkul (usaha), duit. Tetapi disisi lain faiz menjawab kalau dalam berkarya atau profesi maka orang harus memiliki 3 mulai dari dasar sampai ke atas yaitu tenaga, pikiran/otak (akal), dan uang. Orang kalau bekerja dengan tenaga saja maka semua akan terkuras tenaganya dan yang dihasilkan belum tentu maksimal tanpa adanya skill yang mumpuni, sedangkan orang yang menggunakan akal saja tetapi tidak punya tenaga termasuk cuma membuat teori dan konsep saja maka semua itu hanya omong kosong belaka tanpa adanya aplikasi yang nyata dan punya otak atau segi pemikiran saja tanpa adanya skill juga percuma dan akan sia sia, begitu pula dengan uang maka akan terjadi penempatan orang yang tidak pada tempatnya menyebabkan tidak sesui pada koridor dan batas-batas yang telah ditetapkan menjadikan segala sesuatu yang dilakukan akan rusak dan hancur karena tidak mempunyai skill dan tenaga untuk menopang suksesnya suatu pekerjaan. Ketiga hal tersebut harus saling beriringan untuk mencapai tujuan demi kesuksesan yang di impikan, lanjutnya.
Oleh itu penggunaan waktu dan akal sebaik mungkin di tuntut untuk  di utamakan dalam berinteraksi dengan milieu, sehingga tidak mengandalkan begitu saja kepada secarik kertas atau ijazah tanpa di dasari dengan skill yang mumpuni untuk melakukan segala tugas yang dibebankan. Bukan pula karena keturunan yang bisa menyelamatkan kita dari kemiskinan, tetapi dengan pembekalan diri untuk menjawab problematika kehidupan ini yang menjadi sebuah kewajiban bersama yang harus diperjuangkan untuk kebahagiaan semua insan. Benar apa yang disabdakan oleh Nabi yang berarti beliau tidak mewariskan harta benda kepada umatnya, melainkan al-Quran dan Hadits sebagai sumber pedoman hidup. Dengan melihat halaman yang berwarna-i dari buku alam semesta ini membuat kita tahu bagaimana cara untuk hidup lebih terarah menuju kesuksesan. Tidak mengandalkan keturunan atau keluarga, menuntut kita sikap mandiri mencari inspirasi dan pola hidup sendiri sebagai mana yang tertuang dalam syair
   بجد لا بجد كل مجد # فهل جد بلا جد بمجد
Artinya: dengan kesungguhan bukan dengan keturunan keluhuran itu bisa di dapat # apakah keturunan tanpa kesungguhan bisa menghasilkan keluhuran?
Hal tersebut di perkuat dengan sabda nabi, "انا مدينة العلم وعلي بابها" yaitu sebuah hadits akan pentingnya ilmu dalam kehidupan sehari-hari.
Dari saya dalam menyikapi hidup ini perlu adanya sistem, strategi dan solusi yaitu sebagai upaya merespon segala sesuatu dengan sebaik mungkin agar menjadi best of the best bukan "santri katrok" atau "kolot".




[1]  didedikasikan untuk santri dan alumni al-Ghozali dimanapun berada, khususnya dari Mesir seperti  Cak didik Suryadi,  Cak M. Salis Fitrowan Lc., Mahfud Ahmad, Cak M. Ainun Azam, Lc., Cak Abdulloh Munir, Lc. Mbak Alfiyah Sari, Lc dan Alumni di Maroko Cak Kusnadi. Ditulis oleh M. Johaeri Irhas, Lc. Alumni al-Ghozali 2006 yang membutuhkan dukungan dan doa pengasuh dan santri-santri al-Ghozali di manapun berada dan masih melanjutkan  program studi magister di al-Ma’had al-‘Ali li al-Dirasat al-Islamiyat, Zammalek, Mesir.

0 commentaires:

Enregistrer un commentaire

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Lady Gaga, Salman Khan