jeudi 29 septembre 2011

Kedudukan Mahar dan Realita


Kedudukan Mahar dan Realita

Mahar merupakan hak diantara hak-hak istri yang harus dipenuhi oleh suami, yaitu hukum diantara hukum-hukum akad nikah, pengaruh diantara pengaruh-pengaruhnya, bukan syarat sah.[1]
Dalil al-Qur’an tentang kewajiban mahar disebutkan dalam surat an-Nisa’ ayat 4
وأتوا النساء صدقاتهن نحلة memberikan wacana dan penjelasan bahwa Islam memuliakan wanita diantaranya kewajiban memberikan mahar bagi laki-laki terhadap wanita. Khitab ayat diatas ditunjukkan kepada para suami, dikatakan juga ditunjukkan kepada para wali nikah seperti yang dikatakan oleh Abu Shalih, wali nikah mengambil mahar wanita dan tidak memberinya apapun oleh karena itu para wali nikah dilarang melakukannya dan diperintahkan untuk membayarnya kepada wanita-wanita yang dinikah.[2]
Agama Islam menjadikan setiap laki-laki dan wanita mempunyai tugas masing-masing di kehidupan ini, maka tidak elok bagi setiap salah satunya melampaui tugasnya kecuali ketika dharurat, harus dilakukan, oleh sebab itu, tugas wanita di dalam perspektif Syariat Islam yaitu menjadi pemimpin tempat tinggalnya untuk mengaturnya sesuai yang diberikan kepadanya di dalam kehidupan ini, mendidik anak-anaknya secara benar, oleh karena itu,  tidak bisa meninggalkan keutamaan diantara keutamaan-keutamaannya melainkan membiasakaanya, tidak meninggalkan kejelekan diantara kejelekan-kejelekannya melainkan mawas diri dari kejelekan itu…[3]
Berdasarkan fungsi ini kita bisa mengetahui tugas masing-masing wanita dan laki-laki terutama dalam hubungan rumah tangga dan muamalahnya dengan millieunya. Oleh karena itu kita bisa menjawab kenapa  mahar diwajibkan bagi suami bukan istri? yaitu karena peraturan alam pada eksistensinya menjadikan laki-laki bekerja dan wanita melakukan urusan-urusan rumah dan beban-beban material dibebankan seluruhnya kepada suami. Tentunya mahar material ini diberikan oleh suami sebagai tanda keharmonisan yaitu dari segi kebaikan dan ikhlas.
Oleh karena itu, apabila kewajiban mahar itu terbalik –wajib bagi pihak perempuan- maka akan terjadi ketimpangan seperti menurut laporan wanita di India PBB pada tahun 1991, budaya sosial dimana keluarga pengantin wanita harus membayar mas kawin kepada pengantin laki-laki, telah mendorong banyak laki-laki meminta mahar yang tinggi dan pemberian yang berharga bahkan setelah pernikahan. Ketika keluarga dari wanita miskin tidak dapat memenuhi permintaan suami yang serakah tersebut, mereka menghadapi perlakuan brutal dan terkadang serangan yang bisa menyebabkan kematian. Pada tahun 1987 saja, sekitar 1786 wanita dibunuh karena gagal memenuhi permintaan mahar dari suami mereka.[4]


Macam-Macam Mas Kawin[5]
Mahar menurut Ulama fikih terbagi menjadi dua macam, yaitu: mahar musammandan mahar mitsli.
Mahar Musamman yaitu mahar yang disebutkan di dalam akad atau setelah akad secara saling ridha, atau ditentukan terhadap istri setelah akad secara saling ridha, atau ditetapkan oleh hakim, karena keumuman ayat
وقد فرضتم لهن فريضة, فنصف ما فرضتم (البقرة: 237)

 Ulama berbeda pendapat dalam definisi Mahar Mitsli sebagai berikut:
حدده الحنفية: بأنه مهر إمرأة تماثل الزوجة وقت العقد من جهة أبيها, لا أمها إن لم تكن من قوم أبيها, كأختها وعمتها وبنت عمها, في بلدها وعصرها.
Hanafiyyah mendefiniskannya: mahar wanita yang menyerupai istri pada waktu akad dari segi ayahnya, bukan ibunya apabila tidak ada wanita dari keluarga ayahnya, seperti saudarinya, bibinya (saudari ayah) dan anak perempuan pamannya di daerah dan kerabatnya.
حدده الحنابلة: بأنه معتبر بمن يساويها من جميع أقاربها, من جهة أبيها وأمها, كأختها وعمتها, وبنت عمتها, وأمها, وخالتها وغيرهن القربى
Hanabilah mendefinisikannya sebagai sesuatu yang dihargai bagi orang yang menyamai wanita dari seluruh kerabatnya, dari segi ayah dan ibunya, seperti saudari, bibi, anak laki-laki bibi, ibu,  bibi (saudari ibu) dan lainnya yang kerabat.

حدده المالكية والشافعية: بأنه ما يرغب به مثله – أي الزوج – في مثلها – أي ألزوجة – عادة.
Malikiyyah dan Syafi’iyyah mendefinisikannya sebagai Sesuatu yang dipilih oleh serupa suami terhadap serupa istri secara adat.
Penyebab diwajibkannya mahar mitsli telah dibahas di beberapa literatur fikih,[6] sehingga tak perlu dilampirkan dalam catatan singkat ini.

Selayang Pandang Problematika Mas Kawin[7] 
Dalam kehidupan sehari-hari kita mengetahui berbagai macam aplikasi mahar tersebut, baik dengan material seadanya, sederhana, maupun berlebihan. Kebanyakan masyarakat menjadikan mahar seperti harga untuk wanita, menyangka bahwa hal berlebihan tersbut sebagai pengagungan terhadap keluarga wanita, kebesaran derajatnya. Padahal aplikasi mahar tidaklah berlebihan seperti itu, melainkan sebagai simbol kebenaran kecenderungan pada pernikahan dan pemberian kepada wanita, kasih sayang kepadanya di dalam membina kehidupan rumah tangga yang mulia.[8] Demikian itu menyebabkan berpalingnya pemuda dari pernikahan –apalagi orang-orang miskin- mengikuti jejak syaitan, mencari kejelekan, kebaikan berubah menjadi kejelekan, ketenangan menjadi kerisauan, kehormatan ternodai, nasab pun tercampur dan merebaknya penyakit.[9]
Kesimpulannya bahwa sifat berlebihan di dalam mahar itu makruh secara syar’I, kemudahan di dalam mahar adalah mandub dan diantara sebab-sebab berkah dan kebaikan bagi laki-laki, wanita dan masyarakat.[10]
Begitupula masalah nikah beda agama yang berdampak pada mas kawin diantaranya perbedaan pendapat Ulama mengenai boleh tidaknya mengajarkan al-Qur’an sebagai mahar apabila memberi mahar mengajarkan suatu surat al-Qur’an kepada istri yang ahli kitab.
Menurut Syafi’iyyah boleh melakukannya apabila istrinya ada harapan masuk Islam, berdasarkan Firman Allah وَإِِنْ أَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّى يَسْمَعَ كَلاَمَ اللَّهِ, apabila tidak bisa diharapkan masuk islam maka tidak boleh melakukannya.
Menurut Hanâbilah tidak boleh melakukannya karena sabda Nabi Saw.:
لاَ تُسَافِرُوا بِالْقُرْآنِ إِِلَى أَرْضِ الْعَدُوِّ [11]

Teori Aplikatif dalam Ushul Fikih
Mahar menurut Syafi’i adalah hak murni wanita; ketetapan dan pengambilan hak secara penuh. Abu Hanifah berkata bahwa mahar merupakan hak kepada Allah sebagai permulaannya, barangkali dia berkata; kewajiban kepada Allah, yang wajib untuk wanita, dia berhujah demikian itu bahwa mahar  wajib bukanlah sebab mewajibkan untuk wanita, melainkan kewajiban syara’ sehingga apabila suami dan istri sepakat gugurnya mahar maka wajib gugur.[12]
Dari ketentuan diatas, maka bercabang beberapa permasalahan diantaranya:
  1. Menurut Syafi’iyyah mahar tidak terkira, bahkan boleh sedikit dan banyak. Menurut Hanafiyyah sedikitnya mahar diperkirakan sebanyak 10 dirham,[13] sehingga apabila menyebutkan 5 maka wajib sepuluh. Hanafiyyah beralasan demikian bahwa harta yang sangat sedikit  memliki potensi bahaya di dalam syara’, sehingga sebab harta, pencuri dipotong, oleh karena itu organ kewanitaan tidak diperbolehkan tanpa mahar.
  2. Menurut Syafi’iyyah wanita apabila dipinang oleh laki-laki sekufu tanpamahar Mitsli dan ridha, maka wajib bagi para wali nikah untuk menikahkannya, apabila para wali nikah menolak maka dinikahkan olehQâdhi. Sedangkan menurut Hanafiyyah para wali tidak diwajibkan merespon seperti halnya  apabila wanita itu meminta kepada selain sekufu.
By: Joehari irhas Lc
  Mahasiswa Cairo Yang sedang menenmpuh gelar Master


[1] Muhammad Abu Zahrah, Muhâdharât fî ‘Aqdi’l Zawâj wa Âtsâruhu, Dar al-Fikri al-‘Arabi, hlm. 228.
[2] Abu Abdullah Muhammad al-Anshari al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkami’l Qur’an, Dar al-Hadits, Kairo, 2002, jilid III, hlm. 26
[3] Imam Nawawi, Takmilatu’l Majmu’ Syarhu’l Muhadzdzab li’l Imam Abi Ishaq bin Ibrahim bin Ali bin Yusuf al-Syairazi, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Lebanon, cet. I, 2007, jilid XX, hlm. 5.
[4] The United Nation Report on Women in India, 1991.
[5] Prof. DR. Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu, Dar al-Fikr, Damaskus, cet. IV, 2007, jilid IX,  hlm. 6774-6776.
[6] Prof. DR. Ahmad al-Hajji al-Kurdi,  al-Mar’ah fi Dhaw’i al-Syarî’ah al-Islâmiyyah,bab Mahar, Ahkâmu’l Mahri, Dar al-Musthafa, cet. I, Damaskus, hlm. 21-23, DR. Musthafa al-Khin, DR. Musthafa al-Bugha, al-Fiqh al-Manhâjî ‘alâ Madzhabi’l Imam al-Syafi’i, Dar al-Qalam Damaskus, Dar al-Salam, cet. IX, 2008, hlm. 77-79, Prof. DR. Wahbah Zuhailî, al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu, Dar al-Fikr, Damaskus, cet IV, 1997, jilid IX, hlm. 6777-6782.
[7] Untuk problematika kontemporer bisa dilihat di Muhammad Qadrî Bâsyâ, al-Ahkâm Al-Syar’iyyah fî’l Ahwâl al-Syakhshiyyah, Dar al-Salâm, jilid I, hlm. 267-28
[8] DR. Musthafa al-Khin, DR. Musthafa al-Bugha, al-Fiqh al-Manhâjî ‘alâ Madzhabi’l Imam al-Syafi’i, Dar al-Qalam Damaskus, Dar al-Salam, cet. IX, 2008, hlm. 83
[9] Ibid., hlm. 83.
[10] Ibid., hlm. 85.
[11] Al-Mawsu’ah al-Fiqhiyyah al-kuwaytiyyah, bab hukmu hifzhi’l Qur’an, jilid XVII, hlm. 325.
[12] Imam Abu’l Manaqib Syihabuddin Mahmud bin Ahmad al-Zanjanî, Takhriju’l furû’ ‘ala’l Ushûl, Obekan, Riyadh, cet. II, 2006, hlm. 241.
[13] Satu dirham menurut Hanafiyyah yaitu 3,125 gram dan menurut Jumhur yaitu sekitar 2,975 gram, satu dinar yaitu 3, 25 gram, DR. Ali Jum’ah, al-Makâyîl wa’l Mawâzîn al-Syar’iyyah, Dar al-Risâlah, Kairo, cet. I, 2002, hlm. 14. 

0 commentaires:

Enregistrer un commentaire

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Lady Gaga, Salman Khan